“Lidah memang tak bertulang.” Kalimat ini pas rasanya untuk menyentil lisan kita. Sadar atau tidak, organ di dalam mulut yang satu ini kerap menjadi ujung tombak penumpuk dosa. Mungkin karena tak bertulang, lidah sering keseleo sehingga meluncurlah kata-kata tanpa kendali.
Celakanya kebiasaan “lidah keseleo” sering dikaitkan dengan sifat wanita. Bahkan ada ungkapan, lidah wanita terkadang lebih tajam dari pada pedang. Bukannya melebih-lebihkan, tapi betapa banyak kehancuran bermula dari fitnah yang diproduksi oleh lisan.
GOSIP DAN AIB
Di era “modern” ini, banyak hal yang mengalami pergeseran. Salah satu yang jelas terlihat adalah bergunjing atau menggosip. Saat ini gosip bukan lagi sebagai bumbu penyedap pergaulan, tapi sudah naik kelas menjadi gaya hidup (life style). Dulu, orang akan tersinggung jika dikatakan sebagai tukang gosip. Seseorang yang ketahuan sedang menggosip biasanya merasa malu. Tapi sekarang, tak jarang kita jumpai orang bangga menyebut dirinya “biang gosip”.
Dalam pergaulan dengan banyak orang baik dengan tetangga, komunitas kantor atau teman-teman lama, membicarakan orang lain sering menjadi topik hangat. Apalagi jika menyangkut aibnya. Simak saja penuturan seorang ibu yang kapok bergaul dengan komunitas wali murid di sekolah anaknya. “Murid datang telat, ibunya diomongin. Bayaran sekolah telat, diomongin. Pakai kerudung yang warnanya nggak matching sama bajunya, diomongin juga. Heran, kayaknya gatal ya kalau nggak ngomongin orang.”
Salah satu bentuk gosip yang semakin populer adalah tayangan infotainment. Dengan berkedok jurnalisme hiburan, tayangan seputar orang-orang ngetop ini disiarkan mulai pagi hingga malam hari. Sepintas acara semacam ini terkesan menghibur. Seorang ibu yang kelelahan selepas menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya, mungkin akan terhibur dengan informasi sisi-sisi kehidupan pribadi orang orang terkenal. Apalagi kemasan acara makin bervariasi.
Tak bisa dipungkiri, tayangan infotainment tak hanya menyuguhkan informasi dunia selebritis, namun juga menjurus pada ghibah. Tak saja dari kalangan artis, politisi bahkan da’i, kalau sudah menyangkut “aib” langsung ditayangkan. Isu dikemas sedemikian rupa hingga terkesan tragis. Kalimat beritanya disusun lebih berdasar pada asumsi-asumsi naratornya, bukan fakta. Betapa banyak kalimat yang dipelintir hingga isu mengarah pada satu maksud.
Sebagai contoh, suami-istri selebriti yang jarang muncul berdua dalam berbagai acara, langsung diekspose mengalami keretakan rumah tangga. Untuk memperkuat argumen, diwawancarailah berbagai pihak yang nyatanya tak berkompeten hingga akhirnya memperkeruh persoalan. Benarlah ungkapan gosip, makin digosok makin sip. Dan setelah gosok sana gosok sini, makin runcinglah persoalan yang semula sederhana.
GHIBAH DALAM ISLAM
Gosip sejatinya lahir karena norma agama telah diabaikan dalam kehidupan (sekulerisme). Agama tak lagi dijadikan sandaran dalam berbuat dan berkata-kata. Dalam urusan ngobrol, sandaran yang dipakai adalah kebebasan berpendapat. Di kamus ini, mau ngorek-ngorek aib orang, kejelekan orang, konflik rumah tangga orang, tak masalah. Bermula dari gosip, masalah bisa berkembang menjadi fitnah.
Keberadaan media cetak maupun elektronik berperan besar dalam mensosialisasikan gosip. Kini, gosip telah menjadi hal yang lumrah dilakukan. Menceritakan aib orang lain menjadi sesuatu yang tanpa beban kita lakukan. Padahal jika kita cermati kedudukan gosip (ghibah), barangkali kita akan merasa ngeri.
Gosip atau ghibah haram hukumnya. ”Apakah ghibah itu?” tanya seorang sahabat pada Rosululloh SAW. ”Ghibah adalah memberitahu kejelekan orang lain.” jawab Rosul. ”Kalau keadaannya memang benar?” Tanya shahabat lagi. ”Jika benar itulah ghibah, jika tidak benar itulah dusta!” tegas Rosululloh SAW. Dialog tersebut diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Dalam al-Qur’an (QS. Al-Hujurat:12), orang yang suka mengghibah diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Jabir bin Abdullah RA. meriwayatkan, ”Ketika kami bersama Rosululloh SAW tiba-tiba tercium bau busuk yang menyengat seperti bau bangkai. Maka Rosul pun berkata, ”Tahukah kalian, bau apakah ini? Inilah bau dari orang-orang yang mengghibah orang lain”. (HR. Ahmad)
Baik ghibah, dusta maupun fitnah sama buruknya. Bahkan termasuk dosa besar. Sayang, bila kita meremehkan sepak terjang lidah ini. Sudah selayaknya kaum muslim membersihkan diri dari ghibah. Masyarakat yang berpegang teguh pada syariat Alloh, mesti bebas dari gosip. Kalaulah ngobrol dengan teman-teman, ibu-ibu atau siapa saja, bukankah masih banyak topik bemanfaat selain mengurusi aib orang lain? Kalau menyajikan informasi orang ngetop, mengapa bukan prestasi dan kiprahnya membangun masyarakat yang ditonjolkan ?
MENANGKAL GHIBAH
Ibarat penyakit, ghibah begitu mudah menjangkiti diri seseorang. Tak hanya melalui televisi, bisa melalui kegiatan arisan, berbagai pertemuan, sekedar obrolan di warung belanjaan, atau bahkan pengajian. Untuk menghindarinya juga tidak begitu mudah, kita harus ekstra hati-hati. Beberapa cara yang bisa ditempuh :
1.Sempunakanlah iman yang sudah ada
Menyempurnakan iman sangat penting bagi setiap muslim. Pasalnya kesibukan sehari-hari, tak jarang membuat kita tidak sempat ”mengurusi” qolbu. Tahu-tahu qolbu kita sudah hitam pekat, dipenuhi noda akibat dosa-dosa ataupun kelalaian yang tak terasa sering kita lakukan. Kepekaan spiritualpun menurun. Jika sudah demikian, jangankan dosa kecil, dosa besar sekalipun mungkin tak lagi dianggap besar. Banyak sarana yang bisa kita lakukan, diantaranya : rajin mengkaji Islam, berkumpul dengan orang-orang yang sholih, meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, menyendiri (khalwat) dengan Alloh untuk mengevaluasi diri kita, dsb.
2.Berbicaralah sembari berfikir
Setiap akan berbicara hadirkan kesadaran bahwa kita adalah hamba Alloh. Setiap ucapan dan tindakan yang kita lakukan kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Ingatlah betapa buruknya ancaman dan kebencian Alloh terhadap orang yang suka mengghibah.
3.Tingkatkan rasa percaya diri
Orang yang tidak percaya diri, suka mengikut saja perbuatan orang lain. Sehingga ia mudah terseret perbuatan ghibah temannya. Bahkan ia berpotensi menyebabkan ghibah. Karena tidak memiliki kebanggaan terhadap dirinya, akhirnya lebih senang memperhatikan, membicarakan dan menilai orang lain.
4.Bebaskan diri dari penyakit hati
Kebanyakan ghibah muncul karena didasari rasa iri dan dengki, juga ketidakikhlasan menerima kenyataan bahwa ada orang lain yang lebih berhasil atau lebih beruntung daripada dirinya. Dan bila melihat ada orang yang kurang berhasil dibanding dirinya, ia akan merasa senang.
5.Refleksikan pada diri sendiri
Ketika sedang membicarakan keburukan orang lain, segera bayangkan bagaimana perasaan kita jika keburukan kita dibicarakan orang lain. Bukankah setiap orang memiliki harga diri yang harus dihormati. Nabi SAW bersabda: ”Tiada seseorang menutupi cacat seseorang di dunia, melainkan kelak di hari kiamat Alloh pasti akan menutupi cacatnya.” (HR. Muslim) Tentunya kita paham keadaan sebaliknya bahwa Alloh akan membuka cacat kita di hadapan orang lain, jika kita membuka cacat orang lain.
6.Hindari, ingatkan, diam atau tinggalkan
Hindarilah segala sesuatu yang mendekatkan diri kita kepada ghibah. Seperti acara-acara bernuansa ghibah di televisi dan radio. Juga berita di koran dan majalah yang membicarakan kejelekan orang.
Jika terjebak dalam situasi ghibah, ingatkanlah mereka akan kesalahannya. Jika tidak mampu, setidaknya kita diam dan tidak menanggapi ghibah tersebut. Atau kita memilih pergi dan menyelamatkan diri.
Jadi, jangan khawatir atau takut dicap ‘kuper’ hanya karena tidak menguasai gosip. Justru kita harus bangga bisa menghindarkan diri dari gosip. Ingatlah, terjaganya lidah jauh lebih mulia dibandingkan penuhnya otak dengan gosip yang sebenarnya merupakan tumpukan sampah informasi belaka. Semoga kita selamat dari tergelincirnya lidah. Amin.
Gosip : Keburukan yang Disuka
4/
5
Oleh
Sholat, Yuk!