Ummul Mukminin Aisyah ra pernah menuturkan, bahwa jika langit mendung, awan menghitam dan angin kencang, wajah Baginda Nabi SAW yang biasanya memancarkan cahaya akan terlihat pucat-pasi karena takut kepada Allah SWT. Beliau lalu keluar dan masuk ke masjid dalam keadaan gelisah seraya berdoa, “Ya Allah…aku berlindung kepada-Mu dari keburukan hujan dan angin ini, dari keburukan apa saja yang dikandungnya dan keburukan apa saja yang dibawanya.”
Aisyah ra bertanya, “Ya Rasulullah, jika langit mendung, semua orang merasa gembira karena pertanda hujan akan turun. Namun, mengapa engkau tampak ketakutan?”
Nabi SAW menjawab, “Aisyah, bagaimana aku dapat meyakini bahwa awan hitam dan angin kencang itu tidak akan mendatangkan azab Allah? Kaum 'Ad telah dibinasakan oleh angin topan. Saat awan mendung, mereka bergembira karena mengira hujan akan turun. Padahal Allah kemudian mendatangkan azab atas mereka.” (HR Muslim dan at-Tirmidzi).
*****
Subhanallâh! Kita sepantasnya takjub dengan rasa takut Rasulullah SAW kepada Allah. Bayangkan, Rasul adalah kekasih-Nya, penghulu ahli surga. Allah mustahil mengazabnya. Namun, rasa takut kepada Allah sering menyelinap dalam batin Beliau di saat-saat awan mendung dan angin kencang.
Bagaimana dengan para Sahabat beliau? Sama saja. Para Sahabat adalah juga orang-orang yang paling takut kepada Allah setelah Baginda Rasulullah SAW. Padahal mereka telah dijamin masuk ke dalam surga-Nya. Demikian pula para tâbî’în dan generasi sesudah mereka. Kebanyakan mereka adalah generasi yang mengisi hari-harinya dengan amal-ibadah; malam-malamnya diisi dengan zikir, tilawah Alquran dan qiyamul lail; siangnya sering diisi dengan shaum sembari tetap mencari nafkah, berdakwah bahkan ber-jihad (berperang) di jalan Allah. Namun demikian, rasa takut mereka terhadap Allah SWT begitu luar biasa.
Bagaimana dengan generasi Muslim saat ini? Sungguh, musibah demi musibah di negeri ini sudah sering terjadi; mulai dari tsunami, gunung meletus, banjir bandang, kebakaran hutan hingga gempa bumi yang beruntun terjadi. Namun, sepertinya musibah demi musibah itu datang sekadar menimbulkan duka-lara seketika, kemudian setelah itu tak berbekas apa-apa. Banyak orang kemudian bermaksiat seper-ti biasa, melakukan banyak dosa seperti sedia kala. Penguasa dan wakil rakyat tetap menerapkan hukum-hukum kufur. Para ulama pun seolah tetap merasa 'nyaman' dengan tidak diberlakukannya hukum-hukum Allah. Kaum Muslim secara umum juga sepertinya tetap merasa 'enjoy' dengan berbagai kemaksiatan dan kezaliman yang ada. Padahal Allah SWT berfirman (yang artinya): “Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (ber-kuasa) di langit bahwa Dia akan menjung-kirbalikkan bumi bersama kalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang? Ataukah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu? Kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Alangkah hebatnya kemurkaan-Ku" (QS al-Mulk [67]: 16-18).
Allah SWT juga berfirman (yang artinya): Apakah mereka tidak melihat bahwa sesunguhnya Kami mendatangi bumi, lalu Kami mengurangi bumi itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya); tidak ada yang dapat menolak kete-tapan-Nya (QS ar-Ra'd [13]: 41).
Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa maksud dari "Kami mengurangi bumi itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya" adalah dengan tenggelamnya sebagian bumi, gempa dan berbagai macam bencana. Semua ini, sebagaimana terungkap dalam ayat di atas, adalah semata-mata atas kehendak Allah SWT (Lihat: QS at-Taubah [9]: 51).
Harus disadari, segala bentuk ben-cana alam merupakan bukti kemahakua-saan Allah. Dengan itulah, kita seharusnya menyadari betapa manusia ini sangat lemah dan tidak berdaya di hadapan kemahakuasaan Allah (Lihat: QS ar-Ra'd [13]: 41 di atas). Harus disadari pula, dengan bencana alam itu Allah sebetulnya hendak menguji kesabaran manusia (QS al-Baqarah [2]: 155-157).
Lebih dari itu, harus disadari bahwa berbagai bencana dan musibah yang terjadi merupakan teguran sekaligus peringatan agar kita terdorong untuk rajin melakukan muhâsabah (introspeksi diri). Muhâsabah tentu sangat penting. Dengan itu, setiap Muslim bisa mengukur sejauh mana ia telah betul-betul menaati seluruh perintah Allah SWT, dan sejauh mana ia benar-benar telah menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan itu pula, setiap saat ia akan terdorong untuk terus berupaya menjadi orang yang selalu taat kepada Allah SWT serta menjauhi maksiat dan dosa kepada-Nya. Tentu, muhâsabah wajib dilakukan setiap saat, bukan sekadar saat-saat terjadi musibah, seperti gempa yang terjadi saat ini.
Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.
Musibah dan Muhâsabah
4/
5
Oleh
Sholat, Yuk!